READ MORE - Read More..
WEB BLOG
this site the web

tes ya

Sectio Caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono Prawirohardjo, hal : 862)

Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu. Berhubung dengan adanya
antibiotika, tranfusi darah, tehnik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang
lebih baik. (Sarwono Prawirohardjo, hal : 862)

tes be

Ilmu dalam pengertiannya dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu didefinisikan sebagai aktivitas penelitian (rasional, kogninif dan bertujuan). Sebagai prosedur, Ilmu didefinisikan sebagai metode ilmiah dan pengetahuan sistematik merupakan pengertian ilmu sebagai produk. Dalam hal ini, ilmu didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan (Pandia)

Berbicara tentang Ilmu, sering terdengar suatu ungkapan ”Tuntutlah ilmu setingi mungkin”, ”Ilmu, kekayaan yang tak ternilai dengan uang” dan barangkali masih banyak ungkapan dan pertanyaan lain yang tentunya memberikan tantangan bagi kkaum intelektual untuk merenungkan dan menemukan kajian sebagai jawaban atas pertanyaan dan keraguan yang barangkali terdapat juga pada dirinya. Keraguan lain yang sering dipertanyakan yaitu sampai kapankah ilmu yang kita miliki akan bisa kita gunakan? Dan mampukah kita menggapai batas-batas ilmu tersebut? Bahkan, Bapak Dr. Marsigit dalam (powermathematics.blogspot.com) menulisakan ilmu dalam ilustrasinya sebagai ”orang tua berambut putih” yang memberikan gambaran bagaimana Elegi seorang guru dalam upaya menggapai batas. Untuk itu, perlu dikaji kembali sampai dimana sebenarnya batas-batas penjelajahan ilmu. Pandia, secara tegas menyatakan bahwa ”Ilmu memulai penjelajahanya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia, Ilmu tidak mempelajari surga dan neraka dan tidak juga mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab semua itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia” , Pernyataan ini memberikan gambaran yang cukup detail, bahwa batas dari penjelajahan ilmu hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh melalui panca inderanya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika penglaman diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu” begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu sesorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan dunia ini

Asumsi dalam Ilmu dan Batas Penjelajahan Ilmu

PENDAHULUAN

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno, Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa, dan mengindra). Yang membuahkan pengetahuaan? (Jujun S. Suriasumantri, 1985:33).

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya (Surajiyo, 2007:7), filsafat tidak hanya mempersoalkan gejala- gejala atau fenomena- fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.
Ilmu merupakan terjemahan dari kata science yang secara etimologis berasal dari kata scire, yang artinya to know dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan Alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Menurut Dr. White Patrick (dalam poedjawijatna, 2004:62) ilmu adalah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggungjawabkan dalam rumus- rumusnya sesederhana mungkin. Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat
Berbicara tentang Ilmu, sering terdengar suatu ungkapan ”Tuntutlah ilmu setingi mungkin”, ”Ilmu, kekayaan yang tak ternilai dengan uang” dan barangkali masih banyak ungkapan dan pertanyaan lain yang tentunya memberikan tantangan bagi kaum intelektual untuk merenungkan dan menemukan kajian sebagai jawaban atas pertanyaan dan keraguan yang barangkali terdapat juga pada dirinya. Keraguan lain yang sering dipertanyakan yaitu sampai kapankah ilmu yang kita miliki akan bisa kita gunakan? Dan mampukah kita menggapai batas ilmu tersebut? Bahkan, Bapak Dr. Marsigit dalam (powermathematics.blogspot.com) menuliskan ilmu dalam ilustrasinya sebagai ”orang tua berambut putih” yang memberikan gambaran bagaimana Elegi seorang guru dalam upaya menggapai batas. Untuk itu, perlu dikaji kembali sampai dimana sebenarnya batas-batas penjelajahan ilmu? dan seperti apa Asumsi- asumsi dalam ilmu?

PEMBAHASAN

A. Asumsi dalam Ilmu
Ilmu merupakan terjemahan dari kata science yang secara etimologis berasal dari kata scire, yang artinya to know dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan Alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Menurut Dr. White Patrick (dalam Poedjawijatna, 2004:62) ilmu adalah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggungjawabkan dalam rumus- rumusnya sesederhana mungkin. Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat (www.wikipedia.com, diakses 7 Oktober 2009).
Menurut Daoed Joesoef (dalam Surajiyo, 2007:58) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu ilmu pengetahuan yang telah diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuan. Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Menurut Mohammad Hatta (dalam Surajiyo, 2007:60) ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya yang tampak dari luar maupun menurut bangunannya dari dalam. Dan menurut Karl Pearson ilmu adalah lukisan atau keterangan yang bersifat komperhensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sedehana.
Sedangkan Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi juga dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian (Suhartono, 2000)
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal antara lain 1). Aksioma, pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri 2). Postulat, pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya. 3). Premise, pangkal pendapat pada suatu sentimen.
Setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Asumsi ini perlu, Sebab pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Semua teori mempunyai asumsi- asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersurat maupun yang tercakup secara tersirat (Jujun, 2001:6).
Sebagai contoh sebuah perusahaan sepatu dalam rangka penelitian mengenai pemasaran sepatunya mengirimkan dua regu peneliti kesuatu daerah yang sama. Fakta yang ditemukan oleh kedua regu ini adalah bahwa tak seorang pun dari penduduk di situ yang memakai sepatu. Namun berdasarkan fakta yang sama ini kedua regu peneliti itu sampai pada kesimpulan yang berbeda. Regu yang pertama menyimpulkan untuk tidak membangun pabrik sepatu di daerah itu karena takkan ada yang membelinya. Sedangkan regu yang kedua menyarankan sebaliknya dimana mereka bersimpulkan bahwa semua orang akan berbondong- bondong membeli sepatu. Apakah yang menyebabkan perbedaan penarikan kesimpulan yang bertentangan ini? sebabnya terletaknya terdapat dalam asumsi yang melandasi kedua penarikan kesimpulan tersebut. Regu pertama mempunyai asumsi bahwa kenyataan itu tak bisa diubah biar apapun usaha yang dijalankan orang- orang itu tetap takkan mau memakai sepatu. Regu dua mempunyai asumsi yang bertentangan. Menurut anggapannya, kenyataan bahwa orang- orang itu tidak memakai sepatu bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Dengan beberapa kebudayaan yang tepat kita bisa mengubah kebudayaan tidak bersepatu menjadi kebudayaan bersepatu. Hal ini menunjukkan bahwa dengan asumsi yang berbeda kita sampai pada kesimpulan yang berbeda pula. Lalu kesimpulan manakah yang akan kita pilih? Dalam keadaaan seperti ini maka kita akan memilih kesimpulan yang punya asumsi yang dapat kita terima. Kalau kita beranggapan bahwa biar dengan cara apa pun juga orang yang bertelanjang kaki tidak bisa dipaksa memakai sepatu maka kita memilih kesimpulan pertama. Demikian pula sebaliknya.
Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai obyek empiris ini. Sama halnya dengan contoh di atas maka kita baru bisa menerima suatu pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris tertentu selama kita menganggap bahwa pernyataan asumtif ilmu mengenai obyek empiris tersebut benar. Ilmu menganggap bahwa obyek- obyek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin- menjalin secara teratur. Bahwa hujan yang turun diawali dengan awan yang tebal dan langit yang mendung, hal ini bukan merupakan suatu hal yang kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan terulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk pada hukum- hukum tertentu.
Menurut Burhanudin (1997:86-88), Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris :
1) Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke alam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek- objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan cabang keilmuan yang mula- mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taksonomi yuang baik. Lineaus (1707- 1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuh- tumbuhan secara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu- individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri- ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu. Melainkan suatu kelas tertentu. Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggotanya memiliki ciri- ciri tertentu yang serupa.
2) Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak dapat dilakukan bila objek selalu berubah- ubah tiap waktu. Walaupun begitu kita tidak dapat menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab dalam perjalanan waktu setiap benda akan mengalami perubahan. Karena itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarsian yang relatif. Artinya sisfat- sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda- benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda- beda untuk tiap benda.
Planet- planet memperlihatkan perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang bila dibandingkan dengan sebongkah es batu di suatu panas terik di musim kemarau. Kelestarian yang relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3) Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar akan mengeluarkan bau yang merangsang. hal ini bukanlah suatu kebetulan sebab memang sudah demikian hakikatnya suatu pola. Sebab bila sate dibakar akan senantiasa timbul bau yang merangsang. Demikian juga dengan gejala- gejala yang lainnya yang kita temui dalam kehidupan sehari- hari, sesudah langit medung maka turunlah hujan atau sesudah gelap terbitlah terang. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yasng mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain, ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y. Melainkan mengatakan bahwa X memnya Y.
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala- gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan- persayaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.
Menurut Jujun (1990:89) Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang ilmu dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah “manusia administrasi” kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai arti apa- apa dalam penyusunan teori- teori administrasi. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah mahluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri, atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi- asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek adminisrasi. Asumsi bahwa manusia adalah manusia administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti disitu. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar- putar, kita kembali ketempat semula.
Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya“ bukan “bagaimana keadaan seharusnya” asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasar telah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan yang sebesar- besarnya dengan korbanan sekecil- kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan pegangan tidak usah ditambah sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini digunakan dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya maka hal ini bisa saja dilakukan asal semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdsarkan kenyataan sesungguhnyan sebagaimana adanya.
Seorang ilmuan harus benar- benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya. sebab jika menggunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita temui bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang- kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas (Jujun, 1990:90)


B. Batas- batas Penjelajahan Ilmu
a. Cabang- cabang Ilmu
Ilmu- ilmu alam membagi menjadi dua kelompok lagi yaitu ilmu alam (the phisycal science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari masa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda- benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth science yang mempelajari bumi kita ini).
Kalau pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang- orang awam.
Tiap tiap cabang kemudian membuat ranting- ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan magnetisme, fisika nuklir, dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam ilmu- ilmu murni.
Ilmu- ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu- ilmu sosial yaitu antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang- cabang ilmu-,ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang- cabang lagi, seperti antropologi terpecah menjadi lima yaitu arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial atau kultural.

b. Kelebihan dan kekurangan ilmu
Dibandingkan dengan pengetahuan lain maka ilmu berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan ini ialah faktor sosial dari komunikasi ilmiah yang membuat penemuan individual segera diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuan lainnya. Tersedianya alat komunikasi tertulis dengan komunikasi elektronik dalam bentuk majalah, buletin, jurnal, micro film, telex dan sebagainya sangat menunjang intensitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di negara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuan negara- negara lain.
Penemuan ini segera diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah karena prosedur untuk menilai kesahian (validity) pengetahuan tersebut sama- sama telah diketahui dan disetujui oleh seluruh kalangan ilmuan. Percobaan ilmiah harus selalu dapat diulang dan sekitarnya dalam pengulangan tersebut ternyata pernyataannya didukung oleh fakta maka kalangan ilmiah secara tuntas menerima kebenaran pengetahuan tersebut.
Seluruh kalangan ilmiah menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu mendapat pengetahuan baru yang diterima oleh masyarakat dan ilmuan. Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan pesat dalam dinamika yang dipercepat karena penemuan yang satu akan melahirkan penemuan- penemuan lainnya. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis- hipotesis selanjutnya. Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi.
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan- penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak sepenuhnya benar. Karena sampai saat ini belum satu pun dari disiplin keilmuan yang berhasil menyusun suatu teori yang konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidang ilmuan yang relatif paling maju. Satu teori yang mencakup segenap dunia fisik kita belum dapat dirumuskan. Usaha untuk menyatukan teori relatifitas umum. Elektrodinamika, dan kuantum sampai saat ini belum dapat dilaksanakan. Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian dan tentatif sesuai dngan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dengan jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang ditemukan dan diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula dimasa yang akan datang.
Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan peradaban manusia, telah terbukti secara nyata peranan ilmu dalam membangun perdaban tersebut.
Ilmu terlepas dari berbagai kekurangannya dapat memberikan jawaban yang positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini maka penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak pada kesahian teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam abad ke dua puluh ini kita menggunakan berbagai macam teknologi. Seperti mobil, pesawat terbang, dan kapal laut. Sebagai sarana pengangkutan kita berdasarkan pengetahuan yang kita terima kebenarannaya saat ini. Dikemudian hari mungkin saja ditemukan sarana pengangkutan lain yang lebih cocok dengan peradaban waktu itu yang pembuatannya didasarkan atas pengetahuan baru yang akan mengusangkan pengetahuan yang sekarang kita anggap benar tersebut.
Bagi tahap peradaban kita sekarang ini, maka semua itu tidak menjadi soal karena penerapan pengetahuan kedalam masalah kehidupan kita sehari- hari masih dirasakan banyak manfaatnya. Masalah tertentu akan lain lagi bila hal ini dihubungkan dengan pengetahuan yang bersifat mutlak yang tidak berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan peradaban manusia.
Dalam hal ini maka ilmu tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus berpaling ke sumber yang lain, umpamanya agama. Ilmu tidak berwenang untuk menjawabnya, sebab hal itu berada diluar bidang telaahnya. Secara ontologi ilmu membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Diluar bidang empiris tidak bisa mengatakan apa- apa. Sedangkan dalam batas kewenangannya pun, ilmu bukan tanpa cela, antara lain karena panca indra manusia jauh dari sempurna.
Walaupun demikian kekurangan- kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu ke dalam tempat yang sewajarnya, sebab hanya dengan sifat itulah kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa- dewakan ilmu kitapun gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sebenarnya.’
Mereka yang sungguh- sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, dan menerimanaya sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana, serta menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama- sama pengetahuan lainnya. Dan bersama pelengkap kehidupan lainnya seperti seni, agama, ilmu melengkapi kehidupan dan memenuhi kebahagiaan kita. Tanpa kesadaran itu, maka hanya akan kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan, seperti di syairkan Byron dalam Manfred, bahwa pengetahuan tak membawa kita bahagia, dan ilmu tak lebih dari sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.

c. Batas- batas penjelajahan ilmu
Apakah nilai kebenaran dari ilmu bersifat mutlak?
Apakah seluruh permasalahan manusia di dunia dapat dijawab dengan tuntas oleh pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan?
Inilah pertanyaan pokok yang timbul bagi setiap yang mengejar ilmu pengetahuan kapan saja dan dimana saja. Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan- pertanyaan itu, baiklah kia akan menoleh sejenak kepada apa yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di dunia dalam hubungan eksistensi ilmu pengetahuan itu.
Immanuel Kant (1724-1804) (dalam Burhanudin, 1996:94), seorang filsuf ulung bangsa Jerman, menulis “Dengan bagaimanapun juga tiada akal manusia (juga tiada akal yang terbatas) yang menilik sifatnya sama dengan akal kita, tapi memiliknya tingkatnya betapapun juga jauh melebihinya dapat berharap akan memahami penghasilan rumput yang kecil sekalipun dengan sebab- sebab yang sifatnya mekanis belaka.”
Dr. Mr. D.C Mulder menulis dalam karyanya yang berjudul Iman dan Ilmu Pengetahuan, “Tiap- tiap ahli ilmu vak menghadapi soal- soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai pengetahuan vak itu sendiri. Ada soal- soal pokok atau soal- soal dasar yang melalui kompetensi dari ilmu vak itu sendiri. Misalnya, dimanakah batas- batas lapangan yang saya selidiki ini? Dimanakah tempatnya di dalam kenyataan seluruhnya ini? Metode yang saya gunakan ini sampai dimanakah? Umpamanya soal yang sangat sulit sekali apakah causalitas kealaman (natuur causaliteit) berlaku juga atas lapangan hayat, psychs, historis, sosial, dan yuridis? Dan tentu ada lain- lain lagi. Jelaslah untuk menjawab soal- soal semacam itu ilmu- ilmu vak membutuhkan suatu instansi yang sedemikian itu? Ada juga, yaitu ilmu filsafat.”
Dr. Frans Dahler mengemukakan, menurut Marxisme, agama akan lenyap, karena ilmu pengetahuan makin lama makin mampu mengartikan hidup dan membebaskan manusia dari penderitaan. Namun sesungguhnya ilmu tetap tak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dan terpendam dalam sanubari manusia. Misalnya tentang arti kematian, sukses dan gagalnya cinta, makna sengsara yang tidak dapat dihindarkan oleh ilmu yang paling maju sekalipun. Dan lebih dari itu, ilmu tak dapat memenuhi kerinduan, kehausan manusia akan cinta mutlak dan abadi.
Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis yang atheist bangsa Perancis pernah mengemukakan, “ Apakah pengetahuan? Ilmu pengetahuan bukanlah suatu hal yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab akan selalu disisihkan oleh hasil- hasil penelitian dan percobaan- percobaan baru yang dilakukan dengan metode- metode baru atau karena adanya perlengkapan- perlengkapan yang lebih sempurna. Dan penemuan- penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh ahli- ahli lainnya, kadang- kadang kembali mundur, tetapi seringnya lebih maju. Begitulah selalu akan terjadi. Teori Einstein berdasarkan atas studi mengenai percobaan- percobaan Micchelson dan Morley yang menyisihkan ketentuan fisik dari Newton. Teori relativitas Einstein terus hidup hingga 30 tahun kemudian akan disisihkan pula.”
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia (Jujun, 1990:91)
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan.
Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.

PENUTUP

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Pertama, Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain. Kedua, Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangaka waktu tertentu, dan yang ketiga Determinisme, merupakan asumsi ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala buakanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan, Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama.
Batas dari penjelajahan ilmu hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh melalui panca inderanya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika penglaman diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu” begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu sesorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan dunia ini.










DAFTAR PUSTAKA

http://jerobudy.blogspot.com/2009/01/batas-penggapaian-ilmu_21.html, Diakses Oktober 2009.
http://najmisyaifi.blogspot.com/2009/07/asumsi-dan-batas-ilmu.html, Diakses Oktober 2009
http: //powermathematics.blogspot.com, Diakses Oktober 2009.
http: //wikipedia.com, Diakses Oktober 2009.
Munir Misnal. 1997. Pemikiran Filsafat Barat. Yogyakarta: Kerjasama UGM dan Depdikbud.
Nasoetion Andi Hakim. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Litera Antarnusa.
Poedjawidjawijatna, 1991. Tahu dan pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan. 2000. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Ar-Ruzz.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia. Jakarta: Bumi aksara
Suriasumantyri, Jujun. 1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
_________________. 2006. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Perkembangan filsafat bagi perkembangan Ilmu Psikologi

Peranan Filsafat bagi
Perkembangan Ilmu Psikologi

Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.

Secara khusus, filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.

Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi, yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.

Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan alternatif bagi psikologi klinis.

Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.

Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.

Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.

Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, juga bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, 'kepercayaan-kepercayaan' teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.***

Definisi Pendidikan, Teknologi, dan Teknologi Pendidikan

Posted by MuLyadiNiaRty , Tuesday, October 6, 2009 at 2:35 AM, in
PENGERTIAN PENDDIDIKAN :
1. Harahap (1982 : 256) mengemukakan bahwa Pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan si anak, yang diartikan mereka mampu memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.
2. Menurut Undang- undang RI No 2 Tahun 1989 (1989 : 2), Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
3. Pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari seorang pendidik untuk mengolah pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya (Saliman, Shudarsono 1993 : 178).

4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 263) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang, kelompok, kelompok orang, dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
5. Menurut Undang- undang RI tahun 2003 (2003 : 2) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
6. Pendidikan merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus menerus (Dewey, 2004 : 9)
7. Pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global (Tilaar, 1999 : 28)
8. Pendidikan adalah situasi dimana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik yang memungkinkan pserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai- nilai yang dijunjung tinggi masyarakat. (Satori, 2007 : 1.15)
9. Pendidikan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya yang berlangsung tidak dalam batas usia tertentu tetapi berlangsung sepanjang hidup sejak lahir hingga mati (Mudyahardjo, 2002 : 46).
10. Menurut Nursid Sumaatmadja (2002 : 40) pendidikan sebagai proses perubahan perilaku, secara alamiah berjalan spontan.
PENGERTIAN TEKNOLOGI:
1. Teknologi adalah ; 1) Ilmu yang menyelidiki cara- cara kerja di dalam tehnik 2) Ilmu pengetahuan yang digunakan dalam pabrik- pabrik dan industri- industri (Harahap, Poerbahawadja, 1982 : 1357).
2. Teknologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan industri bangunan, mesin- mesin dan sebagainya ( Salim, 1985 : 2015).
3. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 1158) Teknologi adalah ; 1) Metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis ilmu pengetahuan terapan 2) Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang- barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
4. Menurut Rogers (dalam Seels, Richey, 1994 : 12) Teknologi adalah suatu rancangan langkah instrumental untuk memperkecil keraguan mengenai hubungan sebab akibat dalam mencapai hasil yang diharapkan.
5. Teknologi adalah ilmu pengetahuan mengenai pembangunan dan industri (Saliman, Sudarsono, 1993 : 216).
6. Dari Wikipedia, Teknologi adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik.
7. Dalam Random House Dictionary seperti dikutip Naisbitt (2002 : 46) Teknologi adalah sebagai benda, sebuah obyek, bahan dan wujud yang jelas- jelas berbeda dengan manusia.
8. Menurut Iskandar Alisyahbana seperti dikutip Yusufhadi Miarso (2007 : 131), teknologi adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat, atau mebuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra, dan otak manusia.
9. Menurut Ellul dalam Miarso (2007 : 131), Teknologi adalah keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia.
10. Menurut Miarso (2007 : 62) teknologi adalah proses yang meningkatkan nilai tambah, proses tersebut menggunakan atau menghasilkan suatu produk , produk yang dihasilkan tidak terpisah dari produk lain yang telah ada, dan karena itu menjadi bagian integral dari suatu sistem.
PENGERTIAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN:
1. Menurut Nasution (1987 : 20) Teknologi pendidikan adalah media yang lahir dari perkembangan alat informasi yang digunakan untuk tujuan pendidikan.
2. Teknologi Pendidikan adalah pengembangan, penerapan, dan penilaian sistem- sistem, teknik, dan alat bantu untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar manusia (Nasution, 1987 : 7)
3. Teknologi pendidikan merupakan proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah mencari jalan pemecahanya, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia. (Miarso, 1986 : 1)
4. Teknologi pendidikan merupakan suatu bidang garapan khusus yang berkepentingan mengatasi permasalahan belajar pada manusia, dengan memanfaatkan berbagai macam sumber insani dan non-insani dan menerapkan konsep sistem dalam usasha pemecahannya itu.
5. Definisi awal Teknologi Pendidikan (1920), teknologi pendidikan dipandang sebagai media, media ini sebagai media pembelajaran visual yang berupa film, gambar, dan tampilan media ini menampilkan suatu mata pelajaran.
6. Teknologi Pendidikan (1960) dipandang sebagai suatu cara untuk melihat masalah pendidikan dan menguji kemungkinan- kemungkinan solusi dari permasalahan tersebut.
7. Teknologi pendidikan (1970) adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran dalam bentuk tujuan belajar yang spesifik.
8. Menurut ACT (1972) Teknologi pendidikan adalah satu bidang atau disiplin dalam memfasilitasi belajar manusia melalui identifikasi, pengembangan, pengorgnasiasian dan pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar dan melalui pengelolaan proses kesemuanya itu.
9. Menurut ACT (1977) Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisis masalah dan merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar manusia.
10. Menurut ACT (2004) Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Jelas, tujuan utamanya masih tetap untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif, efisien dan menarik) dan meningkatkan kinerja.
Dari pendapat- pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa teknologi pendidikan adalah suatu cara untuk meningkatkan aktifitas belajar dengan menggunakan media dan pendayagunaan teknologi yang didesain secara sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Deway, John, 2004. Experience and Education filsafat pendidikan john dewey, Bandung: Mizan.
Harahap, Poerbahawatja, 1982. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: PT Gunung Agung.
Hasbullah, 2001. Dasar- dasar ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Miarso Yusufhadi, 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Miarso, 2007. Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: Pustekom Diknas.
Naisbitt, 2002. High tech high touch. Bandung: Mizan
Nasution.1987. Teknologi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Mudyahardjo, 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Salim, 1985. Then Contemporary English- Indonesia dictionary. Jakarta: Modern English Pers.
Saliman, Sudharsono. 1993. Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Satori Djam’an, 2007. Profesi Keguruan. Jakarta : UT.
Seels, Richey. 1994. Teknologi Pendidikan definisi dan kawasannya. Jakarta: UNJ
______, 1989. UU RI No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang: Aneka Ilmu.
_______, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_______, 2003. UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
http://id.wikipedia.org/wiki/TeknologI
Sumaatmadja, 2002. Pendidikan pemanusian manusia manusiawi. Bandung: Alfabeta
Tilaar, 1999. Pendidikan kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Satori Djam’an, 2007. Profesi Keguruan. Jakarta : UT.

Belajar dan Faktor2 yg mempengaruhinya

Posted by MuLyadiNiaRty , Sunday, September 6, 2009 at 10:30 AM, in

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maslow (Wongmuda, 2009: 2), mengembangkan teori motivasi manusia yang tujuannya menjelaskan segala jenis kebutuhan manusia yang menguatkannya menurut tingkat prioritas manusia dalam pemenuhannya. Maslow membedakan D-needs atau Deficiency needs yang muncul dari kebutuhan akan pangan, rasa aman, tidur dan lain-lain. Serta B-needs atau Being needs seperti keinginan untuk memenuhi potensi diri. Kita baru dapat memenuhi B-needs jika D-needs sudah terpenuhi. Untuk memenuhi B-needs atau Being needs adalah dengan belajar.

Belajar sebagai proses manusiawi memiliki kedudukan dan peran penting, baik dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern (Winataputra: 2007). Pentingnya proses belajar dapat dipahami dari tradisional/local wisdom, filsafat, temuan penelitian dan teori tentang belajar.

Dari pendapat- pendapat diatas maka penulis akan membahas tentang apa itu belajar dan faktor- faktor yang mempengaruhi belajar.

1.2 Batasan Masalah

* Apa pengertian belajar?
* Apa saja jenis- jenis belajar?
* Apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi belajar?

1.3 Manfaat

Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya, untuk mengetahui apa dan bagaimana belajar?.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Belajar

Dalam Kamus Praktis Bahasa Indonesia belajar adalah berusaha, berlatih untuk mendapat pengetahuan (Adi: 2001).

Menurut Bell-Gredler (dalam Winataputra: 2007) bahwa belajar adalah proses yang dilakukan manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (atttitudes). Keamampuan tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari bayi sampai masa tua melalui serangkaian proses belajar sepanjang hayat.

Malcolm Knowles (dalam Supriadi: 2006) menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku.

Hilgard dan Bower (dalam Winataputra: 2007) mengemukakan: “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya)”.

Menurut Gagne (dalam Winataputra: 2007) belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman.

Dari semua pengertian tentang belajar diatas, dapat diketahui bahwa :

1. Belajar memungkinkan terjadinya perubahan tingkah perilaku pada diri individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek sikap dan nilai (afektif serta keterampilan (psikomotor).
2. Perubahan itu harus merupakan buah dari pengalaman perubahan perilaku yang terjadi pada diri individu karena adanya interaksi dirinnya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa interaksi fisik, misalnya seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas setelah setelah ia menyentuh api yang ada pada lilin. Disamping interaksi fisik, perubahan kemampuan itu juga dapat diperoleh melalui interaksi psikis. Contohnya seorang anak akan berhati- hati dalam menyeberang jalan setelah ia melihat ada orang yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan. Mengeddipkan mata pada saat memandang cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur pada saat mencium harumnya masakan bukan merupakan hasil belaja. Di samping itu perubahan prilaku karena faktor kematangan tidak termasuk belajar. Seorang anak tidk tdak dapat belajar berbicara sampai cukup umurnya, tetapi perkembangan kemampuan berbicaranya sangat tergantung pada rangsangan dari lingkungan sekitar. Begitu juga dengan kemampuan berjalan.
3. Perubahan tersebut relatif menetap, perubahan perilaku akibat obat- obatan, minuman keras dan yang lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku hasil belajar. Seorang atlet yhang mampu melakukan lompat galah melebihi rekor orang lain karena minum obat tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku hasil belajar. Perubahan tersebut tidak bersifat menetap. Perubahan perilaku akibat belajar akan bersifat cukup permanen.

2.2 Jenis- jenis Belajar

Berkenaan dengan proses belajar yang tersjadi pada diri siswa, menurut Gagne (dalam Winataputra: 2007) mengemukakan delapan jenis belajar yaitu sebagai berikut:

1. Belajar Isyarat (Signal Learning)

Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya tanda atau isyarat, misalnya berhenti bicara ketika mendapat isyarat telunjuk menyilang mulut sebagai tanda tidak boleh ribut. Atau berhenti mengendarai sepeda motor diperempatan jalan pada saat tanda lampu merah menyala.

2. Belajar Stimulus- Respon (Stimulus-Respon learning)

Belajar stimulus-respon terjadi pada diri individu karena ada rangsangan dari luar. Misalnya, menendang bola ketika ada bola didepan kaki, berbaris rapi karena ada komando, berlari karena mendengar suara anjing mengonggong dibelakang dan alain sebagainya.

3. Belajar Rangkaian (Chaining Learning)

Belajar rangkaian terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus respon (S-R) yang telah dipelajari sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera dan spontan seperti konsep merah- putih, panas- dingin, ibu- bapak, kaya- miskin, dan lain sebagainya.

4. Belajar Asosiasi Verbal (Verbal Association Learning)

Belajar asosiasi verbal terskadi setelah individu mengetahui sebustan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta api seperti keluang (kaki seribu) atau wajahnya seperti bulan kesiangan.

5. Belajar Membedakan (Discrimination Learning)

Belajar diskriminasiterjadi bila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membedakan hal- hal syang jumslahnya banyak itu. Misalnya, membedakan jenis tumbuhan atau dasar urat daunnya, suku bangsa menurut tempat tinggalnya, dan Negara menurut tingkat kemanjuannya.

6. Belajar Konsep (Consept Learning)

Belajar konsep terjadi bila individu menghadapi berbagai fakta atau data yang kemudian ditafsirskan didalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya, hewan, tumbuhan, dan manusia termasuk mahluk hidup, Negara- Negara yang maju termasuk developed- countries, aturan- aturan yang mengatur hubungan antar- Negara tersmasuk hukum internasional.

7. Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)

Belajar aturan/hukum terjadi bisla individu menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangskat data yang terdahulu atau yang dibetikan sebelumnya dan smenerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebuut menjadi suatu aturan, Misalnya, ditemukan sbahwa benda memuai bila dipanasksan, iklim suatu tempat dipenaruhi oleh kedudukan geografi dan astronomi dimuka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan dan sebagainya.

8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning)

Belajar pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan berbagai konsep atau prinsif untuk menjawab suatu pertanyaan, misalnya mengapa harga bahan bakar minyak naik? Mengapa minat masuk perguruan tinggi menurun? Proses pemecahan masalah selalu jamak dan satu sama lain saling berkaitan.

Urutan jenis- jenis belajar tersebut merupakan tahapan belajar yang sersifat hierarkis, jenis belajar yang pertama merupakan prasayarat bagi jenis belajar berikutnya. Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah apabila individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan dan seterusnya.

2.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi belajar

Sebagai suatu proses keberhasilan ditentukan oleh berbagai faktor ;

1. Faktor Internal

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa, yang meliputi :

* Faktor- faktor fisiologis

Faktor- faktor fisiologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal, yaitu :

1. Keadaan tonus jasmani
1. Keadaan tonus jasmani, berpengaruh pada kesiapan dan aktifitas belajar (Khodijah: 2006), kematangan fisik seseorang digambarkan oleh perkembangan fungsi ototnya. Seorang anak berumur tiga tahun untuk belajar fisiknya dikatakan belum matang untuk dapat belajar mencangkul. Selanjutnya anak umur 13 tahun sudah cukup matang fisiknya untuk belajar mencangkul, tetapi belum matang fisiknya untuk belajar menyetir mobil atau traktor, karena perkembangan fungsi ototnya belum bisa mempelajari hal tersebutnya. Misalnya kakinya belum cukup sampai ke pedal gas dan lain- lain. (Padmowiharjo: 2002).
2. Keadaan fungsi- fungsi fisologis, Keadaan fungsi- fungsi fisologis tertentu terutama kesehatan panca indera akan mempengaruhi belajar.

* Faktor- faktor psikologis

Faktor- faktor psikologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal, yaitu:

a. Minat

Adanya minat terhadap objek yang dipelajari akan mendorong orang untuk mempelajari seseatu untuk dan mencapai hasil belajar yang maksimal (Khodijah: 2006).

b. Motivasi

Motivasi belajar seseorang akn menentukan hasil belajar yang dicapainya. Bahkan dua orang yang sama- sama menunjukkan perilaku belajar yang sama namun memiliki motivasi belajar yang berbeda akan mendapat hasil belajar yang relatif berbeda (Khodijah: 2006).

c. Intelegensi

Merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Orang berinteleggensi renadah tidak akan mendapat hasil belajar yang lebih tinggi dibanding orang yang memiliki intelegensi tinggi.

d. Memori

Menurut Kartono (dalam Khodijah. 2006), memori atau ingatan adalah kemampuan untuk memasukkan, menyimpan dan mereproduksi kembali hal-hal yang pernah diketahui

e. Emosi

Goleman (dalam Khodijah. 2006) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

2. Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar diri siswa, yang meliputi

* Faktor- faktor sosial

Faktor- faktor sosial yang mempengaruhi belajar merupakan faktor manusia baik manusia itu hasir secra langsung maupun tidak mencakup :

a. Orang tua

b. Guru

c. Teman- teman atau orang- orang disekitar lingkungan belajar

* Faktor- faktor non sosial

Faktor- faktor sosial yang mempengaruhi belajar merupakan faktor luar yang bukan faktor manusia yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, diantaranya :

a. Keadaan udara, suhu dan cuaca

b. Waktu ( pagi, siang, dan malam )

c. Tempat (letak dan pergedungan)

d. Alat- alat atau perlengkapan belajar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan manusia untuk memperoleh kemampuan berdasarkan pengalaman.

Faktor- faktor yang mempengaruhi belajar itu banyak dan bermacam- macam. Faktor- faktor tersebut harus diperhatikan oleh para pendidik dan disesuaikan untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal.

3.2 Saran

Diharapkan para pendidik dapat memahami apa itu belajar dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

DAFTAR PUSTAKA

Nyayu, Khodijah. 2006. Psikologi belajar, IAIN Raden Fatah Press : Palembang.

Padmowihardjo, Soedijanto. 2002. Psikologi belajar mengajar. UT : Jakarta.

Winataputra, Udin S, dkk. 2007. Teori belajar dan Pembelajaran. UT : Jakarta.

MuLyadiNiaRty said...

Otak merupakan pengendali utama dari tubuh manusia, otak terbungkus dalam tengkorak kepala dan dilindungi oleh cairan serebospinal. Cairan ini yang berfungsi untuk melindungi otak dari berbagai gangguan baik getaran maupun benturan di kepala.

Dengan otak yang di berikan oleh yang maha kuasa kita bisa berpikir, bersosialisasi, berkomonikasi dan mengingat segala sesuatu kejadian yang telah kamu lewati.

Otak manusia lebih besar dibandingkan dengan otak hewan, beratnya kira-kira 1,4 kg dan terdiri dari 100 milyar sel saraf.

Otak terdiri atas beberapa bagian utama seperti serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum merupakan bagian terbesar dari otak. Beratnya sekitar 85% dari berat otak, serebrum terbagi atas dua hemisfer. Batang otak menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakan.

Cara kerja otak manusia.

Otak bekerja sama dengan organ tubuh kita lainnya sehingga tubuh kita bisa bekerja sesuai perintahnya. Otak dan Sum-sum tulang belakang membentuk sistem syaraf pusat, kedua sistem ini bekerja sama untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan tubuh.

Saat anda berpikir keras cerebrum (hemisfer) berfungsi untuk mengingatnya, menganalisa, sehingga muncul ide-ide kreatif (hemisfer kanan). Untuk logika dan bicara di gunakan hemisfer kiri.

Batang otak berfungsi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar dari organ tubuh seperti mengatur denyut jantung, bernapas, sistem pencernaan, sirkulasi darah dan merasakan kapan kita terbangun maupun tertidur.

Anatomi Otak Manusia

Batang otak terletak di bagian bawah otak berfungsi untuk sistem kendali tubuh seperti bernapas, denyut jantung, tidur dan tekanan darah.

Serebelum merupakan bagian kedua terbesar yang berfungsi untuk mengkoordinasi pergerakan otot dan mengontrol keseimbangan.

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang berfungsi untuk berpikir, berbicara, mengingat, menerima sensor dan pergerakan. serebrum di bagi atas empat bagian yang masing-masing mempunyai tugas khusus.

Frontal lobe terletak di belakang kepala berfungsi untuk berpikir, belajar, emosi dan pergerakan.

Occipital lobe berfungsi untuk memproses objek atau untuk penglihatan

Pariental lobe terletak di bagian atas otak yang berfungsi untuk merasakan sensai pada tubuh seperti sentuhan, temperatur dan rasa sakit.

Temporal lobe berfungsi untuk memproses suara yang masuk dan juga daya ingat.

Left hemisphere (hemisfer kiri) atau lebih di kenal dengan otak kiri berfungsi untuk berhitung, analisa dan bahasa.

Right hemisphere (otak kanan) berfungsi untuk menghailkan pikiran-pikiran kreatif.

Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan

Posted by MuLyadiNiaRty , Sunday, September 6, 2009 at 9:46 AM, in

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Ia selain memiliki ciri- ciri fisik yang khas, juga dilengkapi dengan kemampuan intelegensi dan daya nalar yang tinggi sehingga menjadikan ia mampu berpikir, berbuat, dan bertindak ke arah perkembangannya sebagai manusia yang utuh.

Dalam kaitanya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses, yaitu proses alami menuju kedewasaan psikis rohani. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah perkembangan manusia yang optimal sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya, manusia memerlukan pendidikan sebagai suatu proses dan usaha sadar untuk lebih memanusiakan manusia (Wahyudin, dkk, 2007: 1.1).

Pendidikan terjadi dalam lingkungan sekolah sering disebut pendidikan formal, sebab sudah memiliki rancangan pendidikan berupa kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas dan rinci. Dalam pelaksanaanya dilakukan penilaian dan pengawasan untuk mengetahui tingkat pencapaian kurikulum tersebut (Hernawan, dkk, 2008: 1-2).

Peranan kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah strategis dan menentukan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum juga memiliki posisi dan kedudukan yang sangatlah sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Sangat sulit dibayangkan bagaimana bentuk pelaksanaanya suatu pendidikan disuatu lembaga pendidikan yang tidak memiliki kurikulum (Hernawan, dkk, 2008 : 2)

Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengetahui apa itu kurikulum dan bagaimana kurikulum itu.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka adapun batasan masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengeritian kurikulum?
2. Apa fungsi kurikulum bagi pihak- pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah ?
3. Apa saja komponen- komponen utama dalam kurikulum?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis angkat, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk megetahui Apa pengertian kurikulum, Apa fungsi kurikulum bagi pihak- pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah, dan Apa saja komponen- komponen utama yang terdapat dalam kurikulum.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kurikulum

Istilah kurikulum (curriculum), Awalnya digunakan dalam dunia olah raga, berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan.

Kemudian istilah itu diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh ijazah.

Pengertian kurukulum ini dianggap sebagai pengertian yang sempit atau sederhana, karena dengan seiring perkembangan zaman kurikulum mengalami perkembangan kurikulum tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman belajar (learning experience) yang dialami siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya.

Harold B. Alberty (Hernawan, dkk, 2008: 1.3-1.4) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan pada siswa dibawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the student by the school), kurikulum tidak hanya dibatasi di kelas saja, tetapi juga mencakup juga kegiatan- kegiatan yang dilakukan siswa di luar kelas. Pendapat yang senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander, dan Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah (the curriculum is the sum total of school’s effort to influence learning, whether in classroom, on the playground, or out of school).

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Burmawi, 2006: 3).

Selain pengertian diatas, kurikulum memiliki beberapa karakteristik (Sukmadinata, 1997: 27) yaitu:

1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yaitu bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar siswa di sekolah. Yang mencakup rumusan- rumusan tujuan, bahan ajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.

2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing- masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren dengan yang lainnya dan bahwa kurikulum itu sendiri memilki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.

3. Kurukulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan suatu konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian dengan tuntutan pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.

Dengan beragamnya pendapat mengenai pengertian kurikulum tersebut maka secara teoritis kita agak sulit menentukan satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Menurut Hamid hasan (Hernawan, dkk, 2008: 1.4)., sebanarnya kurikulum ini bukanlah suatu hal yang tunggal, istilah kurikulum menunjukkan berbagi dimensi pengertian. Ia menunjukkan bahwa pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, dimana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum sebagai suatu ide
2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenarnya merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai ide.
3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering puka disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoritis dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan kurikulum sebagai suatu rencana tertulis.
4. Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah konsep yang terbuka dengan berbagai kegiatan.

(Hernawan, dkk, 2008: 1.5)

Dari pengertian- pengertian tadi ditemukan semacam peta perkembangan pengertian kurikulum dari masa ke masa dan dimensi- dimensi pengertian kurikulum yang lebih luas lagi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kurikulum akan berkembang beriring dengan perkembangan negara- negara yang ada di dunia, dan kurikulum yang berkembangpun disesuaikan dengan tuntutan zaman yang ada sekarang dan masa yang akan datang.

2.2 Peranan dan Fungsi Kurikulum

a. Peranan kurikulum

Menurut Hamalik (Hernawan, dkk, 2008: 1.6) Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang stak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Apabila dirinci secara mendetail peranan kurikulum sangat penting dalam mencapai tujuan- tujuan pendidikan, paling tidak terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif .

1. Peranan Konservatif

Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum itu dapat dijadikan sebagi sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini hakikatnya sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai- nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.

2. Peranan Kreatif

Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek- aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu ysang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan- kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa yang mendatang. Kurikulum harus mengandung hal- hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan- pengetahuan baru, kemampuan- kemanpuan baru, serta cara berfikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.

3. Peranan Kritis dan Evaluatif

Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai- nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan sehingga pewarisan nilai- nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan yang terjadi pada masa sekarang dan masa yang akan datang belum tentu sesuaikan dengan yang dibutuhan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial nilai- nilai sosial yang tudak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan- penyempurnaan.

Ketiga peranan kurikulum diatas tentu harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan- ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, diantaranya pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa dan masyarakat. Dengan demikian, pihak- pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikuilum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing- masing.

b. Fungsi Kurikulum

Bagi seorang guru kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dan pengawas kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua kurikulum brfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa itu sendiri kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar.

Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa, Alexander Inglis mengemukakan enam fungsi kurikulum:

1. Fuingsi Penyesuaian (the adjusttive or adptive function)

Bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar mampu memiliki sifat well adjusted, yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan dan bersifat dinamis. oleh karena itu pun siswa harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dilingkungannya.

2. Fungsi Integrasi (the integrating function)

Fungsi integrasi mengandung fungsi bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi- pribadi. Yang utuh siswa pada dasarnya anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memilki keperibadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dalam masyarakat.

3. Fungsi Diferensiasi (the differentiating function)

Fungsi differensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.

4. Fungsi Persiapan (the propaaedentic fungtion)

Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan selanjutnya. Selain ittu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena suatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

5. Fungsi Pemilihan (the selective fungtion)

Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum harus mampu memberikan kepada siswa untuk memilih program- program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya

6. Fungsi Diagnostik (the diagnotik fungtion)

Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya.

Keenam fungsi yang sudah dikemukakan harus dimiliki oleh suatu kurikulum lembaga pendidikan secara menyeluruh (komprehensif). Dengan demikian kurikulum dapat memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.

2.3 Komponen Kurikulum

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.

A. . Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerjasama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.

Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.

Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .

B. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

1. Teori; seperangkat konstruksi atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan– hubungan antara variabel- variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi: yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.

Yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :

1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

C. Strategi pembelajaran

Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

D. Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

E. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dan pengertian kurikulum bersifat dinamis.

Manfaat Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri.

3.2 Saran

Diharapkan guru dapat menerapkan kurikulum belajar mengajar sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dibutuhkan.kurikulum harus memberikan wawasan masa depan dengan menghilangkan aspek- aspek yang terlalu didramatisasi


DAFTAR PUSTAKA

Burnawi, Yukari, 2006. Panduan Penyusunan KTSP jenjang Dasar dan nnnnnnnnmenengah. BSNP: Jakarta.

Hernawan, dkk. 2008. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran. UT: jakarta

Reza, Aulia. _____. Reformasi Pendidikan. Lapenda Pustaka Utama: Jakarta.

Sukmadinata, Nanas. 2004. Kurikulum dan pembelajaran Kompetensi. Kesemu nnnnnnnnkarya : bandung.

Wahyudin, Dina, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan. UT: Jakarta.
 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies