WEB BLOG
this site the web

Asumsi dalam Ilmu dan Batas Penjelajahan Ilmu

PENDAHULUAN

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno, Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa, dan mengindra). Yang membuahkan pengetahuaan? (Jujun S. Suriasumantri, 1985:33).

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya (Surajiyo, 2007:7), filsafat tidak hanya mempersoalkan gejala- gejala atau fenomena- fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.
Ilmu merupakan terjemahan dari kata science yang secara etimologis berasal dari kata scire, yang artinya to know dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan Alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Menurut Dr. White Patrick (dalam poedjawijatna, 2004:62) ilmu adalah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggungjawabkan dalam rumus- rumusnya sesederhana mungkin. Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat
Berbicara tentang Ilmu, sering terdengar suatu ungkapan ”Tuntutlah ilmu setingi mungkin”, ”Ilmu, kekayaan yang tak ternilai dengan uang” dan barangkali masih banyak ungkapan dan pertanyaan lain yang tentunya memberikan tantangan bagi kaum intelektual untuk merenungkan dan menemukan kajian sebagai jawaban atas pertanyaan dan keraguan yang barangkali terdapat juga pada dirinya. Keraguan lain yang sering dipertanyakan yaitu sampai kapankah ilmu yang kita miliki akan bisa kita gunakan? Dan mampukah kita menggapai batas ilmu tersebut? Bahkan, Bapak Dr. Marsigit dalam (powermathematics.blogspot.com) menuliskan ilmu dalam ilustrasinya sebagai ”orang tua berambut putih” yang memberikan gambaran bagaimana Elegi seorang guru dalam upaya menggapai batas. Untuk itu, perlu dikaji kembali sampai dimana sebenarnya batas-batas penjelajahan ilmu? dan seperti apa Asumsi- asumsi dalam ilmu?

PEMBAHASAN

A. Asumsi dalam Ilmu
Ilmu merupakan terjemahan dari kata science yang secara etimologis berasal dari kata scire, yang artinya to know dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan Alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Menurut Dr. White Patrick (dalam Poedjawijatna, 2004:62) ilmu adalah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggungjawabkan dalam rumus- rumusnya sesederhana mungkin. Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat (www.wikipedia.com, diakses 7 Oktober 2009).
Menurut Daoed Joesoef (dalam Surajiyo, 2007:58) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu ilmu pengetahuan yang telah diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuan. Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Menurut Mohammad Hatta (dalam Surajiyo, 2007:60) ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya yang tampak dari luar maupun menurut bangunannya dari dalam. Dan menurut Karl Pearson ilmu adalah lukisan atau keterangan yang bersifat komperhensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sedehana.
Sedangkan Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi juga dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian (Suhartono, 2000)
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal antara lain 1). Aksioma, pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri 2). Postulat, pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya. 3). Premise, pangkal pendapat pada suatu sentimen.
Setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Asumsi ini perlu, Sebab pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Semua teori mempunyai asumsi- asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersurat maupun yang tercakup secara tersirat (Jujun, 2001:6).
Sebagai contoh sebuah perusahaan sepatu dalam rangka penelitian mengenai pemasaran sepatunya mengirimkan dua regu peneliti kesuatu daerah yang sama. Fakta yang ditemukan oleh kedua regu ini adalah bahwa tak seorang pun dari penduduk di situ yang memakai sepatu. Namun berdasarkan fakta yang sama ini kedua regu peneliti itu sampai pada kesimpulan yang berbeda. Regu yang pertama menyimpulkan untuk tidak membangun pabrik sepatu di daerah itu karena takkan ada yang membelinya. Sedangkan regu yang kedua menyarankan sebaliknya dimana mereka bersimpulkan bahwa semua orang akan berbondong- bondong membeli sepatu. Apakah yang menyebabkan perbedaan penarikan kesimpulan yang bertentangan ini? sebabnya terletaknya terdapat dalam asumsi yang melandasi kedua penarikan kesimpulan tersebut. Regu pertama mempunyai asumsi bahwa kenyataan itu tak bisa diubah biar apapun usaha yang dijalankan orang- orang itu tetap takkan mau memakai sepatu. Regu dua mempunyai asumsi yang bertentangan. Menurut anggapannya, kenyataan bahwa orang- orang itu tidak memakai sepatu bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Dengan beberapa kebudayaan yang tepat kita bisa mengubah kebudayaan tidak bersepatu menjadi kebudayaan bersepatu. Hal ini menunjukkan bahwa dengan asumsi yang berbeda kita sampai pada kesimpulan yang berbeda pula. Lalu kesimpulan manakah yang akan kita pilih? Dalam keadaaan seperti ini maka kita akan memilih kesimpulan yang punya asumsi yang dapat kita terima. Kalau kita beranggapan bahwa biar dengan cara apa pun juga orang yang bertelanjang kaki tidak bisa dipaksa memakai sepatu maka kita memilih kesimpulan pertama. Demikian pula sebaliknya.
Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai obyek empiris ini. Sama halnya dengan contoh di atas maka kita baru bisa menerima suatu pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris tertentu selama kita menganggap bahwa pernyataan asumtif ilmu mengenai obyek empiris tersebut benar. Ilmu menganggap bahwa obyek- obyek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin- menjalin secara teratur. Bahwa hujan yang turun diawali dengan awan yang tebal dan langit yang mendung, hal ini bukan merupakan suatu hal yang kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan terulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk pada hukum- hukum tertentu.
Menurut Burhanudin (1997:86-88), Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris :
1) Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke alam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek- objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan cabang keilmuan yang mula- mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taksonomi yuang baik. Lineaus (1707- 1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuh- tumbuhan secara sistematis. Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu- individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri- ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu. Melainkan suatu kelas tertentu. Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggotanya memiliki ciri- ciri tertentu yang serupa.
2) Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak dapat dilakukan bila objek selalu berubah- ubah tiap waktu. Walaupun begitu kita tidak dapat menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab dalam perjalanan waktu setiap benda akan mengalami perubahan. Karena itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarsian yang relatif. Artinya sisfat- sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda- benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda- beda untuk tiap benda.
Planet- planet memperlihatkan perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang bila dibandingkan dengan sebongkah es batu di suatu panas terik di musim kemarau. Kelestarian yang relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3) Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar akan mengeluarkan bau yang merangsang. hal ini bukanlah suatu kebetulan sebab memang sudah demikian hakikatnya suatu pola. Sebab bila sate dibakar akan senantiasa timbul bau yang merangsang. Demikian juga dengan gejala- gejala yang lainnya yang kita temui dalam kehidupan sehari- hari, sesudah langit medung maka turunlah hujan atau sesudah gelap terbitlah terang. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yasng mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain, ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y. Melainkan mengatakan bahwa X memnya Y.
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala- gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan- persayaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.
Menurut Jujun (1990:89) Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang ilmu dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah “manusia administrasi” kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai arti apa- apa dalam penyusunan teori- teori administrasi. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah mahluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri, atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi- asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek adminisrasi. Asumsi bahwa manusia adalah manusia administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti disitu. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar- putar, kita kembali ketempat semula.
Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya“ bukan “bagaimana keadaan seharusnya” asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasar telah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan yang sebesar- besarnya dengan korbanan sekecil- kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan pegangan tidak usah ditambah sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini digunakan dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya maka hal ini bisa saja dilakukan asal semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdsarkan kenyataan sesungguhnyan sebagaimana adanya.
Seorang ilmuan harus benar- benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya. sebab jika menggunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita temui bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang- kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas (Jujun, 1990:90)


B. Batas- batas Penjelajahan Ilmu
a. Cabang- cabang Ilmu
Ilmu- ilmu alam membagi menjadi dua kelompok lagi yaitu ilmu alam (the phisycal science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari masa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda- benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth science yang mempelajari bumi kita ini).
Kalau pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang- orang awam.
Tiap tiap cabang kemudian membuat ranting- ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan magnetisme, fisika nuklir, dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam ilmu- ilmu murni.
Ilmu- ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu- ilmu sosial yaitu antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang- cabang ilmu-,ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang- cabang lagi, seperti antropologi terpecah menjadi lima yaitu arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial atau kultural.

b. Kelebihan dan kekurangan ilmu
Dibandingkan dengan pengetahuan lain maka ilmu berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan ini ialah faktor sosial dari komunikasi ilmiah yang membuat penemuan individual segera diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuan lainnya. Tersedianya alat komunikasi tertulis dengan komunikasi elektronik dalam bentuk majalah, buletin, jurnal, micro film, telex dan sebagainya sangat menunjang intensitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di negara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuan negara- negara lain.
Penemuan ini segera diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah karena prosedur untuk menilai kesahian (validity) pengetahuan tersebut sama- sama telah diketahui dan disetujui oleh seluruh kalangan ilmuan. Percobaan ilmiah harus selalu dapat diulang dan sekitarnya dalam pengulangan tersebut ternyata pernyataannya didukung oleh fakta maka kalangan ilmiah secara tuntas menerima kebenaran pengetahuan tersebut.
Seluruh kalangan ilmiah menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu mendapat pengetahuan baru yang diterima oleh masyarakat dan ilmuan. Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan pesat dalam dinamika yang dipercepat karena penemuan yang satu akan melahirkan penemuan- penemuan lainnya. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis- hipotesis selanjutnya. Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi.
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan- penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak sepenuhnya benar. Karena sampai saat ini belum satu pun dari disiplin keilmuan yang berhasil menyusun suatu teori yang konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidang ilmuan yang relatif paling maju. Satu teori yang mencakup segenap dunia fisik kita belum dapat dirumuskan. Usaha untuk menyatukan teori relatifitas umum. Elektrodinamika, dan kuantum sampai saat ini belum dapat dilaksanakan. Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian dan tentatif sesuai dngan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dengan jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang ditemukan dan diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula dimasa yang akan datang.
Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan peradaban manusia, telah terbukti secara nyata peranan ilmu dalam membangun perdaban tersebut.
Ilmu terlepas dari berbagai kekurangannya dapat memberikan jawaban yang positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini maka penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak pada kesahian teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam abad ke dua puluh ini kita menggunakan berbagai macam teknologi. Seperti mobil, pesawat terbang, dan kapal laut. Sebagai sarana pengangkutan kita berdasarkan pengetahuan yang kita terima kebenarannaya saat ini. Dikemudian hari mungkin saja ditemukan sarana pengangkutan lain yang lebih cocok dengan peradaban waktu itu yang pembuatannya didasarkan atas pengetahuan baru yang akan mengusangkan pengetahuan yang sekarang kita anggap benar tersebut.
Bagi tahap peradaban kita sekarang ini, maka semua itu tidak menjadi soal karena penerapan pengetahuan kedalam masalah kehidupan kita sehari- hari masih dirasakan banyak manfaatnya. Masalah tertentu akan lain lagi bila hal ini dihubungkan dengan pengetahuan yang bersifat mutlak yang tidak berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan peradaban manusia.
Dalam hal ini maka ilmu tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus berpaling ke sumber yang lain, umpamanya agama. Ilmu tidak berwenang untuk menjawabnya, sebab hal itu berada diluar bidang telaahnya. Secara ontologi ilmu membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Diluar bidang empiris tidak bisa mengatakan apa- apa. Sedangkan dalam batas kewenangannya pun, ilmu bukan tanpa cela, antara lain karena panca indra manusia jauh dari sempurna.
Walaupun demikian kekurangan- kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu ke dalam tempat yang sewajarnya, sebab hanya dengan sifat itulah kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa- dewakan ilmu kitapun gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sebenarnya.’
Mereka yang sungguh- sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, dan menerimanaya sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana, serta menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama- sama pengetahuan lainnya. Dan bersama pelengkap kehidupan lainnya seperti seni, agama, ilmu melengkapi kehidupan dan memenuhi kebahagiaan kita. Tanpa kesadaran itu, maka hanya akan kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan, seperti di syairkan Byron dalam Manfred, bahwa pengetahuan tak membawa kita bahagia, dan ilmu tak lebih dari sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.

c. Batas- batas penjelajahan ilmu
Apakah nilai kebenaran dari ilmu bersifat mutlak?
Apakah seluruh permasalahan manusia di dunia dapat dijawab dengan tuntas oleh pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan?
Inilah pertanyaan pokok yang timbul bagi setiap yang mengejar ilmu pengetahuan kapan saja dan dimana saja. Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan- pertanyaan itu, baiklah kia akan menoleh sejenak kepada apa yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di dunia dalam hubungan eksistensi ilmu pengetahuan itu.
Immanuel Kant (1724-1804) (dalam Burhanudin, 1996:94), seorang filsuf ulung bangsa Jerman, menulis “Dengan bagaimanapun juga tiada akal manusia (juga tiada akal yang terbatas) yang menilik sifatnya sama dengan akal kita, tapi memiliknya tingkatnya betapapun juga jauh melebihinya dapat berharap akan memahami penghasilan rumput yang kecil sekalipun dengan sebab- sebab yang sifatnya mekanis belaka.”
Dr. Mr. D.C Mulder menulis dalam karyanya yang berjudul Iman dan Ilmu Pengetahuan, “Tiap- tiap ahli ilmu vak menghadapi soal- soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai pengetahuan vak itu sendiri. Ada soal- soal pokok atau soal- soal dasar yang melalui kompetensi dari ilmu vak itu sendiri. Misalnya, dimanakah batas- batas lapangan yang saya selidiki ini? Dimanakah tempatnya di dalam kenyataan seluruhnya ini? Metode yang saya gunakan ini sampai dimanakah? Umpamanya soal yang sangat sulit sekali apakah causalitas kealaman (natuur causaliteit) berlaku juga atas lapangan hayat, psychs, historis, sosial, dan yuridis? Dan tentu ada lain- lain lagi. Jelaslah untuk menjawab soal- soal semacam itu ilmu- ilmu vak membutuhkan suatu instansi yang sedemikian itu? Ada juga, yaitu ilmu filsafat.”
Dr. Frans Dahler mengemukakan, menurut Marxisme, agama akan lenyap, karena ilmu pengetahuan makin lama makin mampu mengartikan hidup dan membebaskan manusia dari penderitaan. Namun sesungguhnya ilmu tetap tak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dan terpendam dalam sanubari manusia. Misalnya tentang arti kematian, sukses dan gagalnya cinta, makna sengsara yang tidak dapat dihindarkan oleh ilmu yang paling maju sekalipun. Dan lebih dari itu, ilmu tak dapat memenuhi kerinduan, kehausan manusia akan cinta mutlak dan abadi.
Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis yang atheist bangsa Perancis pernah mengemukakan, “ Apakah pengetahuan? Ilmu pengetahuan bukanlah suatu hal yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab akan selalu disisihkan oleh hasil- hasil penelitian dan percobaan- percobaan baru yang dilakukan dengan metode- metode baru atau karena adanya perlengkapan- perlengkapan yang lebih sempurna. Dan penemuan- penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh ahli- ahli lainnya, kadang- kadang kembali mundur, tetapi seringnya lebih maju. Begitulah selalu akan terjadi. Teori Einstein berdasarkan atas studi mengenai percobaan- percobaan Micchelson dan Morley yang menyisihkan ketentuan fisik dari Newton. Teori relativitas Einstein terus hidup hingga 30 tahun kemudian akan disisihkan pula.”
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia (Jujun, 1990:91)
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan.
Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.

PENUTUP

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Pertama, Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain. Kedua, Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangaka waktu tertentu, dan yang ketiga Determinisme, merupakan asumsi ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala buakanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan, Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama.
Batas dari penjelajahan ilmu hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh melalui panca inderanya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika penglaman diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu” begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ilmu sesorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan dunia ini.










DAFTAR PUSTAKA

http://jerobudy.blogspot.com/2009/01/batas-penggapaian-ilmu_21.html, Diakses Oktober 2009.
http://najmisyaifi.blogspot.com/2009/07/asumsi-dan-batas-ilmu.html, Diakses Oktober 2009
http: //powermathematics.blogspot.com, Diakses Oktober 2009.
http: //wikipedia.com, Diakses Oktober 2009.
Munir Misnal. 1997. Pemikiran Filsafat Barat. Yogyakarta: Kerjasama UGM dan Depdikbud.
Nasoetion Andi Hakim. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Litera Antarnusa.
Poedjawidjawijatna, 1991. Tahu dan pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan. 2000. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Ar-Ruzz.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia. Jakarta: Bumi aksara
Suriasumantyri, Jujun. 1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
_________________. 2006. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

1 comments:

Anonymous said...

Nice article...

Post a Comment

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies