READ MORE - Read More..
WEB BLOG
this site the web

Belajar dan Faktor2 yg mempengaruhinya

Posted by MuLyadiNiaRty , Sunday, September 6, 2009 at 10:30 AM, in

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maslow (Wongmuda, 2009: 2), mengembangkan teori motivasi manusia yang tujuannya menjelaskan segala jenis kebutuhan manusia yang menguatkannya menurut tingkat prioritas manusia dalam pemenuhannya. Maslow membedakan D-needs atau Deficiency needs yang muncul dari kebutuhan akan pangan, rasa aman, tidur dan lain-lain. Serta B-needs atau Being needs seperti keinginan untuk memenuhi potensi diri. Kita baru dapat memenuhi B-needs jika D-needs sudah terpenuhi. Untuk memenuhi B-needs atau Being needs adalah dengan belajar.

Belajar sebagai proses manusiawi memiliki kedudukan dan peran penting, baik dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern (Winataputra: 2007). Pentingnya proses belajar dapat dipahami dari tradisional/local wisdom, filsafat, temuan penelitian dan teori tentang belajar.

Dari pendapat- pendapat diatas maka penulis akan membahas tentang apa itu belajar dan faktor- faktor yang mempengaruhi belajar.

1.2 Batasan Masalah

* Apa pengertian belajar?
* Apa saja jenis- jenis belajar?
* Apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi belajar?

1.3 Manfaat

Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya, untuk mengetahui apa dan bagaimana belajar?.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Belajar

Dalam Kamus Praktis Bahasa Indonesia belajar adalah berusaha, berlatih untuk mendapat pengetahuan (Adi: 2001).

Menurut Bell-Gredler (dalam Winataputra: 2007) bahwa belajar adalah proses yang dilakukan manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (atttitudes). Keamampuan tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari bayi sampai masa tua melalui serangkaian proses belajar sepanjang hayat.

Malcolm Knowles (dalam Supriadi: 2006) menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku.

Hilgard dan Bower (dalam Winataputra: 2007) mengemukakan: “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya)”.

Menurut Gagne (dalam Winataputra: 2007) belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman.

Dari semua pengertian tentang belajar diatas, dapat diketahui bahwa :

1. Belajar memungkinkan terjadinya perubahan tingkah perilaku pada diri individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek sikap dan nilai (afektif serta keterampilan (psikomotor).
2. Perubahan itu harus merupakan buah dari pengalaman perubahan perilaku yang terjadi pada diri individu karena adanya interaksi dirinnya dengan lingkungan. Interaksi ini dapat berupa interaksi fisik, misalnya seorang anak akan mengetahui bahwa api itu panas setelah setelah ia menyentuh api yang ada pada lilin. Disamping interaksi fisik, perubahan kemampuan itu juga dapat diperoleh melalui interaksi psikis. Contohnya seorang anak akan berhati- hati dalam menyeberang jalan setelah ia melihat ada orang yang tertabrak kendaraan. Perubahan kemampuan tersebut terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan. Mengeddipkan mata pada saat memandang cahaya yang menyilaukan atau keluar air liur pada saat mencium harumnya masakan bukan merupakan hasil belaja. Di samping itu perubahan prilaku karena faktor kematangan tidak termasuk belajar. Seorang anak tidk tdak dapat belajar berbicara sampai cukup umurnya, tetapi perkembangan kemampuan berbicaranya sangat tergantung pada rangsangan dari lingkungan sekitar. Begitu juga dengan kemampuan berjalan.
3. Perubahan tersebut relatif menetap, perubahan perilaku akibat obat- obatan, minuman keras dan yang lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku hasil belajar. Seorang atlet yhang mampu melakukan lompat galah melebihi rekor orang lain karena minum obat tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku hasil belajar. Perubahan tersebut tidak bersifat menetap. Perubahan perilaku akibat belajar akan bersifat cukup permanen.

2.2 Jenis- jenis Belajar

Berkenaan dengan proses belajar yang tersjadi pada diri siswa, menurut Gagne (dalam Winataputra: 2007) mengemukakan delapan jenis belajar yaitu sebagai berikut:

1. Belajar Isyarat (Signal Learning)

Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya tanda atau isyarat, misalnya berhenti bicara ketika mendapat isyarat telunjuk menyilang mulut sebagai tanda tidak boleh ribut. Atau berhenti mengendarai sepeda motor diperempatan jalan pada saat tanda lampu merah menyala.

2. Belajar Stimulus- Respon (Stimulus-Respon learning)

Belajar stimulus-respon terjadi pada diri individu karena ada rangsangan dari luar. Misalnya, menendang bola ketika ada bola didepan kaki, berbaris rapi karena ada komando, berlari karena mendengar suara anjing mengonggong dibelakang dan alain sebagainya.

3. Belajar Rangkaian (Chaining Learning)

Belajar rangkaian terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus respon (S-R) yang telah dipelajari sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera dan spontan seperti konsep merah- putih, panas- dingin, ibu- bapak, kaya- miskin, dan lain sebagainya.

4. Belajar Asosiasi Verbal (Verbal Association Learning)

Belajar asosiasi verbal terskadi setelah individu mengetahui sebustan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya, perahu itu seperti badan itik atau kereta api seperti keluang (kaki seribu) atau wajahnya seperti bulan kesiangan.

5. Belajar Membedakan (Discrimination Learning)

Belajar diskriminasiterjadi bila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membedakan hal- hal syang jumslahnya banyak itu. Misalnya, membedakan jenis tumbuhan atau dasar urat daunnya, suku bangsa menurut tempat tinggalnya, dan Negara menurut tingkat kemanjuannya.

6. Belajar Konsep (Consept Learning)

Belajar konsep terjadi bila individu menghadapi berbagai fakta atau data yang kemudian ditafsirskan didalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya, hewan, tumbuhan, dan manusia termasuk mahluk hidup, Negara- Negara yang maju termasuk developed- countries, aturan- aturan yang mengatur hubungan antar- Negara tersmasuk hukum internasional.

7. Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)

Belajar aturan/hukum terjadi bisla individu menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangskat data yang terdahulu atau yang dibetikan sebelumnya dan smenerapkannya atau menarik kesimpulan dari data tersebuut menjadi suatu aturan, Misalnya, ditemukan sbahwa benda memuai bila dipanasksan, iklim suatu tempat dipenaruhi oleh kedudukan geografi dan astronomi dimuka bumi, harga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan dan sebagainya.

8. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning)

Belajar pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan berbagai konsep atau prinsif untuk menjawab suatu pertanyaan, misalnya mengapa harga bahan bakar minyak naik? Mengapa minat masuk perguruan tinggi menurun? Proses pemecahan masalah selalu jamak dan satu sama lain saling berkaitan.

Urutan jenis- jenis belajar tersebut merupakan tahapan belajar yang sersifat hierarkis, jenis belajar yang pertama merupakan prasayarat bagi jenis belajar berikutnya. Seorang individu tidak akan mampu melakukan belajar pemecahan masalah apabila individu tersebut belum menguasai belajar aturan, konsep, membedakan dan seterusnya.

2.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi belajar

Sebagai suatu proses keberhasilan ditentukan oleh berbagai faktor ;

1. Faktor Internal

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa, yang meliputi :

* Faktor- faktor fisiologis

Faktor- faktor fisiologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal, yaitu :

1. Keadaan tonus jasmani
1. Keadaan tonus jasmani, berpengaruh pada kesiapan dan aktifitas belajar (Khodijah: 2006), kematangan fisik seseorang digambarkan oleh perkembangan fungsi ototnya. Seorang anak berumur tiga tahun untuk belajar fisiknya dikatakan belum matang untuk dapat belajar mencangkul. Selanjutnya anak umur 13 tahun sudah cukup matang fisiknya untuk belajar mencangkul, tetapi belum matang fisiknya untuk belajar menyetir mobil atau traktor, karena perkembangan fungsi ototnya belum bisa mempelajari hal tersebutnya. Misalnya kakinya belum cukup sampai ke pedal gas dan lain- lain. (Padmowiharjo: 2002).
2. Keadaan fungsi- fungsi fisologis, Keadaan fungsi- fungsi fisologis tertentu terutama kesehatan panca indera akan mempengaruhi belajar.

* Faktor- faktor psikologis

Faktor- faktor psikologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal, yaitu:

a. Minat

Adanya minat terhadap objek yang dipelajari akan mendorong orang untuk mempelajari seseatu untuk dan mencapai hasil belajar yang maksimal (Khodijah: 2006).

b. Motivasi

Motivasi belajar seseorang akn menentukan hasil belajar yang dicapainya. Bahkan dua orang yang sama- sama menunjukkan perilaku belajar yang sama namun memiliki motivasi belajar yang berbeda akan mendapat hasil belajar yang relatif berbeda (Khodijah: 2006).

c. Intelegensi

Merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Orang berinteleggensi renadah tidak akan mendapat hasil belajar yang lebih tinggi dibanding orang yang memiliki intelegensi tinggi.

d. Memori

Menurut Kartono (dalam Khodijah. 2006), memori atau ingatan adalah kemampuan untuk memasukkan, menyimpan dan mereproduksi kembali hal-hal yang pernah diketahui

e. Emosi

Goleman (dalam Khodijah. 2006) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

2. Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar diri siswa, yang meliputi

* Faktor- faktor sosial

Faktor- faktor sosial yang mempengaruhi belajar merupakan faktor manusia baik manusia itu hasir secra langsung maupun tidak mencakup :

a. Orang tua

b. Guru

c. Teman- teman atau orang- orang disekitar lingkungan belajar

* Faktor- faktor non sosial

Faktor- faktor sosial yang mempengaruhi belajar merupakan faktor luar yang bukan faktor manusia yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, diantaranya :

a. Keadaan udara, suhu dan cuaca

b. Waktu ( pagi, siang, dan malam )

c. Tempat (letak dan pergedungan)

d. Alat- alat atau perlengkapan belajar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan manusia untuk memperoleh kemampuan berdasarkan pengalaman.

Faktor- faktor yang mempengaruhi belajar itu banyak dan bermacam- macam. Faktor- faktor tersebut harus diperhatikan oleh para pendidik dan disesuaikan untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal.

3.2 Saran

Diharapkan para pendidik dapat memahami apa itu belajar dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

DAFTAR PUSTAKA

Nyayu, Khodijah. 2006. Psikologi belajar, IAIN Raden Fatah Press : Palembang.

Padmowihardjo, Soedijanto. 2002. Psikologi belajar mengajar. UT : Jakarta.

Winataputra, Udin S, dkk. 2007. Teori belajar dan Pembelajaran. UT : Jakarta.

MuLyadiNiaRty said...

Otak merupakan pengendali utama dari tubuh manusia, otak terbungkus dalam tengkorak kepala dan dilindungi oleh cairan serebospinal. Cairan ini yang berfungsi untuk melindungi otak dari berbagai gangguan baik getaran maupun benturan di kepala.

Dengan otak yang di berikan oleh yang maha kuasa kita bisa berpikir, bersosialisasi, berkomonikasi dan mengingat segala sesuatu kejadian yang telah kamu lewati.

Otak manusia lebih besar dibandingkan dengan otak hewan, beratnya kira-kira 1,4 kg dan terdiri dari 100 milyar sel saraf.

Otak terdiri atas beberapa bagian utama seperti serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum merupakan bagian terbesar dari otak. Beratnya sekitar 85% dari berat otak, serebrum terbagi atas dua hemisfer. Batang otak menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakan.

Cara kerja otak manusia.

Otak bekerja sama dengan organ tubuh kita lainnya sehingga tubuh kita bisa bekerja sesuai perintahnya. Otak dan Sum-sum tulang belakang membentuk sistem syaraf pusat, kedua sistem ini bekerja sama untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan tubuh.

Saat anda berpikir keras cerebrum (hemisfer) berfungsi untuk mengingatnya, menganalisa, sehingga muncul ide-ide kreatif (hemisfer kanan). Untuk logika dan bicara di gunakan hemisfer kiri.

Batang otak berfungsi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar dari organ tubuh seperti mengatur denyut jantung, bernapas, sistem pencernaan, sirkulasi darah dan merasakan kapan kita terbangun maupun tertidur.

Anatomi Otak Manusia

Batang otak terletak di bagian bawah otak berfungsi untuk sistem kendali tubuh seperti bernapas, denyut jantung, tidur dan tekanan darah.

Serebelum merupakan bagian kedua terbesar yang berfungsi untuk mengkoordinasi pergerakan otot dan mengontrol keseimbangan.

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang berfungsi untuk berpikir, berbicara, mengingat, menerima sensor dan pergerakan. serebrum di bagi atas empat bagian yang masing-masing mempunyai tugas khusus.

Frontal lobe terletak di belakang kepala berfungsi untuk berpikir, belajar, emosi dan pergerakan.

Occipital lobe berfungsi untuk memproses objek atau untuk penglihatan

Pariental lobe terletak di bagian atas otak yang berfungsi untuk merasakan sensai pada tubuh seperti sentuhan, temperatur dan rasa sakit.

Temporal lobe berfungsi untuk memproses suara yang masuk dan juga daya ingat.

Left hemisphere (hemisfer kiri) atau lebih di kenal dengan otak kiri berfungsi untuk berhitung, analisa dan bahasa.

Right hemisphere (otak kanan) berfungsi untuk menghailkan pikiran-pikiran kreatif.

Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan

Posted by MuLyadiNiaRty , Sunday, September 6, 2009 at 9:46 AM, in

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Ia selain memiliki ciri- ciri fisik yang khas, juga dilengkapi dengan kemampuan intelegensi dan daya nalar yang tinggi sehingga menjadikan ia mampu berpikir, berbuat, dan bertindak ke arah perkembangannya sebagai manusia yang utuh.

Dalam kaitanya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses, yaitu proses alami menuju kedewasaan psikis rohani. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah perkembangan manusia yang optimal sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya, manusia memerlukan pendidikan sebagai suatu proses dan usaha sadar untuk lebih memanusiakan manusia (Wahyudin, dkk, 2007: 1.1).

Pendidikan terjadi dalam lingkungan sekolah sering disebut pendidikan formal, sebab sudah memiliki rancangan pendidikan berupa kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas dan rinci. Dalam pelaksanaanya dilakukan penilaian dan pengawasan untuk mengetahui tingkat pencapaian kurikulum tersebut (Hernawan, dkk, 2008: 1-2).

Peranan kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah strategis dan menentukan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum juga memiliki posisi dan kedudukan yang sangatlah sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Sangat sulit dibayangkan bagaimana bentuk pelaksanaanya suatu pendidikan disuatu lembaga pendidikan yang tidak memiliki kurikulum (Hernawan, dkk, 2008 : 2)

Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengetahui apa itu kurikulum dan bagaimana kurikulum itu.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka adapun batasan masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengeritian kurikulum?
2. Apa fungsi kurikulum bagi pihak- pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah ?
3. Apa saja komponen- komponen utama dalam kurikulum?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis angkat, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk megetahui Apa pengertian kurikulum, Apa fungsi kurikulum bagi pihak- pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah, dan Apa saja komponen- komponen utama yang terdapat dalam kurikulum.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kurikulum

Istilah kurikulum (curriculum), Awalnya digunakan dalam dunia olah raga, berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan.

Kemudian istilah itu diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh ijazah.

Pengertian kurukulum ini dianggap sebagai pengertian yang sempit atau sederhana, karena dengan seiring perkembangan zaman kurikulum mengalami perkembangan kurikulum tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman belajar (learning experience) yang dialami siswa dan mempengaruhi perkembangan pribadinya.

Harold B. Alberty (Hernawan, dkk, 2008: 1.3-1.4) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan pada siswa dibawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the student by the school), kurikulum tidak hanya dibatasi di kelas saja, tetapi juga mencakup juga kegiatan- kegiatan yang dilakukan siswa di luar kelas. Pendapat yang senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander, dan Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah (the curriculum is the sum total of school’s effort to influence learning, whether in classroom, on the playground, or out of school).

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Burmawi, 2006: 3).

Selain pengertian diatas, kurikulum memiliki beberapa karakteristik (Sukmadinata, 1997: 27) yaitu:

1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yaitu bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar siswa di sekolah. Yang mencakup rumusan- rumusan tujuan, bahan ajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.

2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing- masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren dengan yang lainnya dan bahwa kurikulum itu sendiri memilki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.

3. Kurukulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan suatu konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian dengan tuntutan pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.

Dengan beragamnya pendapat mengenai pengertian kurikulum tersebut maka secara teoritis kita agak sulit menentukan satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Menurut Hamid hasan (Hernawan, dkk, 2008: 1.4)., sebanarnya kurikulum ini bukanlah suatu hal yang tunggal, istilah kurikulum menunjukkan berbagi dimensi pengertian. Ia menunjukkan bahwa pada saat sekarang istilah kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, dimana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum sebagai suatu ide
2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenarnya merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai ide.
3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering puka disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoritis dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan kurikulum sebagai suatu rencana tertulis.
4. Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah konsep yang terbuka dengan berbagai kegiatan.

(Hernawan, dkk, 2008: 1.5)

Dari pengertian- pengertian tadi ditemukan semacam peta perkembangan pengertian kurikulum dari masa ke masa dan dimensi- dimensi pengertian kurikulum yang lebih luas lagi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kurikulum akan berkembang beriring dengan perkembangan negara- negara yang ada di dunia, dan kurikulum yang berkembangpun disesuaikan dengan tuntutan zaman yang ada sekarang dan masa yang akan datang.

2.2 Peranan dan Fungsi Kurikulum

a. Peranan kurikulum

Menurut Hamalik (Hernawan, dkk, 2008: 1.6) Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang stak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Apabila dirinci secara mendetail peranan kurikulum sangat penting dalam mencapai tujuan- tujuan pendidikan, paling tidak terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif .

1. Peranan Konservatif

Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum itu dapat dijadikan sebagi sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini hakikatnya sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai- nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.

2. Peranan Kreatif

Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek- aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu ysang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan- kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa yang mendatang. Kurikulum harus mengandung hal- hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan- pengetahuan baru, kemampuan- kemanpuan baru, serta cara berfikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.

3. Peranan Kritis dan Evaluatif

Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai- nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan sehingga pewarisan nilai- nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan yang terjadi pada masa sekarang dan masa yang akan datang belum tentu sesuaikan dengan yang dibutuhan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial nilai- nilai sosial yang tudak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan- penyempurnaan.

Ketiga peranan kurikulum diatas tentu harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan- ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, diantaranya pihak guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa dan masyarakat. Dengan demikian, pihak- pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikuilum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing- masing.

b. Fungsi Kurikulum

Bagi seorang guru kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dan pengawas kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua kurikulum brfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa itu sendiri kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar.

Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa, Alexander Inglis mengemukakan enam fungsi kurikulum:

1. Fuingsi Penyesuaian (the adjusttive or adptive function)

Bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar mampu memiliki sifat well adjusted, yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan dan bersifat dinamis. oleh karena itu pun siswa harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dilingkungannya.

2. Fungsi Integrasi (the integrating function)

Fungsi integrasi mengandung fungsi bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi- pribadi. Yang utuh siswa pada dasarnya anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memilki keperibadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dalam masyarakat.

3. Fungsi Diferensiasi (the differentiating function)

Fungsi differensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.

4. Fungsi Persiapan (the propaaedentic fungtion)

Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan selanjutnya. Selain ittu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena suatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

5. Fungsi Pemilihan (the selective fungtion)

Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum harus mampu memberikan kepada siswa untuk memilih program- program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya

6. Fungsi Diagnostik (the diagnotik fungtion)

Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya.

Keenam fungsi yang sudah dikemukakan harus dimiliki oleh suatu kurikulum lembaga pendidikan secara menyeluruh (komprehensif). Dengan demikian kurikulum dapat memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.

2.3 Komponen Kurikulum

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.

A. . Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerjasama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.

Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.

Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .

B. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

1. Teori; seperangkat konstruksi atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan– hubungan antara variabel- variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi: yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.

Yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :

1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

C. Strategi pembelajaran

Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

D. Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

E. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dan pengertian kurikulum bersifat dinamis.

Manfaat Kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, bahkan kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri.

3.2 Saran

Diharapkan guru dapat menerapkan kurikulum belajar mengajar sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dibutuhkan.kurikulum harus memberikan wawasan masa depan dengan menghilangkan aspek- aspek yang terlalu didramatisasi


DAFTAR PUSTAKA

Burnawi, Yukari, 2006. Panduan Penyusunan KTSP jenjang Dasar dan nnnnnnnnmenengah. BSNP: Jakarta.

Hernawan, dkk. 2008. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran. UT: jakarta

Reza, Aulia. _____. Reformasi Pendidikan. Lapenda Pustaka Utama: Jakarta.

Sukmadinata, Nanas. 2004. Kurikulum dan pembelajaran Kompetensi. Kesemu nnnnnnnnkarya : bandung.

Wahyudin, Dina, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan. UT: Jakarta.
 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies